Seorang Perempuan Mualaf di Inggris

Di sedang suatu distrik di Midlands, Inggris yang selalu repot menjadi berasal dari pertokoan di siang hari sampai restaurant dan daerah hiburan di malam hari, persis berhadapan bersama dengan pub (bar), berdiri sebuah masjid yang terhitung tak kalah repot bersama dengan pengunjungnya baik untuk salat berjamaat ataupun aktivitas lainnya. Sore ini Masjid ini mengadakan acara rutin bulanan: ‘refresher session’ – workshop spesifik untuk para Mualaf, atau reverters. Di paviliun masjid bagian akhwat udah penuh bersama dengan para muslimah mualaf beserta anak-anak. Inilah sedikit cuplikan kisah perjalanan hidup lebih dari satu kecil berasal dari mereka.
Angela, 38 tahun – ibu RT bersama dengan 3 anak
Saya masuk Islam pada usia 27 tahun. Saat itu aku udah punya seorang balita dan baru saja putus interaksi bersama dengan partner yang terhitung bapak anak saya. Mulanya cuma ikut-ikutan ke masjid ini untuk menemani rekan muslim mendengar ceramah rutin. Lama kelamaan aku kerap pergi sendiri sampai selanjutnya memastikan bersyahadat di hadapan Imam, rekan dan lebih dari satu saksi.
Menjadi muslim membuat aku benar-benar mudah. Saya segera kenakan kerudung walau masih bersama dengan celana jeans ketat. Saya terhitung benar-benar nikmati shalat dan puasa Ramadhan walau masih bolong. Semuanya lebih memuaskan batin aku dibanding kehidupan di awalnya yang repot bersama dengan night-clubbing dan hura-hura. Keluarga, terlebih ibu aku begitu suka memandang transformasi aku dikarenakan beliau sempat kuatir bersama dengan keseriusan aku mengurus anak dan diri sendiri.
Setelah lebih berasal dari dua tahun jadi muslim aku memastikan untuk terima tawaran berasal dari masjid untuk dijodohkan bersama dengan seorang pemuda muslim yang usianya 3 tahun lebih muda, berasal dari keluarga Pakistan dan bekerja sebagai supir taksi. Awal pernikahan aku bersama dengan Kamil hampir tidak ada masalah, lebih dikarenakan suami seorang yang pendiam sementara aku benar-benar dominan.Walaupun aku tidak bekerja, Kamil tidak dulu mengeluh di dalam menopang banyak urusan domestik seperti memasak, bersihkan rumah dan belanja. Kadang dia suka mengeluh di depan ibunya namun Ibu mertua aku selalu membela aku dan tidak dulu samasekali mengkritik. Bahkan beliau suka mengirim masakan ke rumah dan memperlakukan anak aku seolah cucu kandungnya sendiri. Sekarang pernikahan kami udah menginjak tahun ke 9 dan dikaruniai tambahan 2 anak.
Sudah lama aku meninggalkan jeans ketat aku bergeser bersama dengan gamis. Saya terhitung udah banyak menyita alih tugas domestik walau Kamil selalu mudah tangan menopang terlebih di dalam mengurus anak-anak untuk memberi aku sementara ke masjid untuk belajar agama. Jika sedang shalat malam aku kerap menangis, mengingat betapa beruntungnya saya, begitu besar kasih sayang dan perlindungan Allah kepada aku melalui Kamil dan keluarganya.
Padma, dokter – 29 tahun
Saya udah belajar mengenai Islam saat aku masih di sekolah dan semakin mendalaminya begitu menjadi kuliah bersama dengan ikuti Islamic Study Circle di kampus. Tahun ke-2 di kampus, aku memastikan untuk masuk Islam. Saya merahasiakan keislaman aku berasal dari keluarga terlebih dikarenakan bapak aku adalah seorang petinggi di komunitas Sikh kami. Tapi rahasia itu cuma mampu aku sembunyikan selama lebih dari satu bulan saja. Tentu saja orangtua aku benar-benar marah dan kecewa bersama dengan ketetapan saya. Ayah mengancam untuk tidak mengakui aku sebagai anak jikalau aku tidak muncul berasal dari Islam. Sama seperti bapak aku yang keras kepala, aku pilih pergi berasal dari rumah bersama dengan apa adanya. Selama sembilan bulan aku hidup luntang-lantung tidak karuan, menumpang berasal dari satu rumah rekan ke rekan yang lain. Kuliah aku menjadi keteteran dan makan terhitung tidak teratur. Tempat terakhir aku menumpang adalah keluarga muslim Bangladesh yang benar-benar baik hati di mana aku tidur sekamar bersama dengan dua anak perempuan mereka.
Karena hidup yang tidak beraturan aku selanjutnya jatuh sakit, keluarga tumpangan aku bersusah payah menghubungi bapak aku yang lantas berkunjung memulangkan aku kembali. Setelah itu seperti kembali normal, aku kembali hidup bersama dengan keluarga aku dan kuliah seperti biasa. Satu hal yang bapak aku minta adalah untuk merahasiakan keislaman aku berasal dari komunitas Sikh kami yang aku setujui. Suatu perayaan Diwali, aku seperti biasa udah repot menopang ibu memasak dan menata rumah untuk menyambut tamu-tamu kolega bapak yang terhitung petinggi agama. Saat semua tamu udah berkumpul, tanpa disangka-ayah bapak mengumumkan kepada semua orang bahwa putri sulungnya – aku – udah jadi Muslim. Dia meminta hadirin untuk selalu menjunjung kami sekeluarga dan ketetapan aku untuk bergeser agama. Sungguh aku benar-benar terharu dan tidak menyangka bapak akan melakukan tindakan demikian yang mempertaruhkan kedudukan dan status sosialnya yang terhormat.

Kejadian ini membukakan pintu untuk aku mampu lebih mempraktekkan Islam secara terbuka seperti kenakan hijab di luar rumah. Ayah masih sempat memandang bersama dengan bangganya sementara aku diwisuda jadi dokter sebelum akan selanjutnya pelindung aku itu berpulang untuk selamanya. Kini udah tujuh tahun sesudah aku jadi Muslim, Ibu dan 2 adik perempuan aku terhitung udah jadi muslim. Satu-satunya yang belum mengikut jejak kami adalah adik lelaki saya. Kami semua selalu berdoa semoga Allah membukakan hatinya dan suatu hari meraih hidayah Islam, Insya Allah.
Rahimni, 32 tahun – ibu RT bersama dengan 2 anak
Rahimni memang bukan nama asli saya, namun nama yang diberikan suami sementara aku masuk Islam dikarenakan pernikahan. Suami aku berasal dari Iran yang sementara itu sedang bekerja di Sri Lanka, tanah kelahiran saya. Perkawinan kami tentu saja ditentang habis-habisan dan kami memastikan untuk migrasi ke Inggris, menyingkirkan berasal dari keluarga saya. Awal perkawinan kami lumayan harmonis, aku repot jadi ibu RT sementara suami berbisnis toko makanan siap saji bersama dengan temannya. Semenjak krisis ekonomi 4 tahun lalu, bisnis suami aku menjadi sepi dan kami menjadi kesulitan uang. Saya medapat tawaran untuk bekerja paruh-waktu di sekolah dekat rumah jadi asisten guru. Saat itu anak ke-2 kami udah lahir dan sekolah punya fasilitas penitipan anak yang mampu menopang selama aku bekerja.
Walaupun pendapatan aku tidak seberapa namun mampu menopang keperluan aku dan anak-anak. Di samping itu aku menjadi lebih yakin diri bersama dengan mengasah keterampilan aku di pekerjaan. Selama itu bisnis suami tidak terhitung semakin membaik, dia semakin tidak suka bersama dengan aku muncul rumah untuk bekerja menopang mencari nafkah. Sepertinya harga dirinya benar-benar terluka. Kami jadi kerap ribut sampai suatu hari dia kehilangan pengecekan mencoba melukai aku sampai selanjutnya menusuk telinga kiri bersama dengan benda tajam. Sekarang telinga kiri aku tuli dikarenakan rusak total.
Dari moment sementara itu aku terhitung terima jahitan di dekat pelupuk mata yang untungnya tidak mencederai penglihatan saya. Sekarang kami udah bercerai. Bisnis suami aku bangkrut dan dia tidak diperbolehkan mendekati saya. Jika idamkan menengok anak-anaknya, dia kudu diawasi pekerja sosial atau polisi di mana setiap kunjungan dibatasi untuk lebih dari satu jam. Saya kehilangan pekerjaan aku di sekolah, keluarga aku di Sri Lanka terhitung udah lama menutup pintu untuk saya. Sudah lama sekali semenjak terakhir aku mempraktekkan shalat apalagi berpuasa; aku kehilangan kepercayaan aku kepada Tuhan.
Maureen, 59 tahun – pekerja relawan
Saya lahir berasal dari keluarga Irish (Ireland) dan otomatis besar bersama dengan didikan bersama dengan nilai Katolik yang ketat. Namun keluarga aku berbesar hati sementara aku memastikan untuk menikah bersama dengan Sajid dan bergeser agama. Setelah menikah aku memastikan jadi ibu rumah tangga total untuk dua anak kami. Sepertinya jadi muslim saja udah lumayan untuk Sajid dan dia tidak dulu menuntut aku kudu shalat, berpuasa apalagi kenakan hijab. Kehidupan kami lumayan suka sampai suatu hari seperti petir di siang hari, sesudah 24 tahun menikah, Sajid menyampaikan niatnya untuk menceraikan aku bersama dengan alasan aku bukan muslim yang baik dan anak-anak kami, hasil didikan saya, tidak ada satupun yang mempraktekkan Islam. Saya benar-benar terpukul, semua aset kami adalah atas nama Sajid dan aku cuma diberi secukup uang untuk hidup selama setahun. Anak-anak sementara itu udah dewasa dan tinggal di kota lain; aku tidak sudi membebani mereka yang sedang berusaha mandiri.
Setelah setahun, aku tidak punya pilihan tidak cuman jadi tanggungan pemerintah bersama dengan syarat aku kudu sudi bekerja sukarela di beragam community centres milik pemerintah. Awalnya aku pilih bekerja di Islamic community centre ini dikarenakan lokasinya yang dekat. Tugas aku beragam, namun umumnya merawat kebersihan ruangan dan menopang kelancaran aktivitas akhwat disini. Dari situ aku lantas jadi rajin ikuti sister’s circle; aku belajar berwudhu dan shalat, puasa, berhijab dan prinsip-prinsip Islam lainnya. Sudah 9 tahun aku bercerai dan hidup di bawah tanggungan pemerintah namun aku menjadi lebih tenang dan damai. Saya tidak kembali menjadi marah dan dendam bersama dengan perlakuan mantan suami yang tidak adil.
Hikmahnya, jikalau aku tidak dicerai kemungkinan aku tidak akan dulu berusaha jadi muslim yang baik, yang ironisnya jadi alasan utama Sajid untuk mencampakkan saya. Saya terhitung dengar dia udah menikah kembali bersama dengan wanita muslim yang jauh lebih muda.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Seorang Perempuan Mualaf di Inggris"

Post a Comment